Oleh : Dr. Noviardi Ferzi*
” Hidup adalah tentang persepsi. Positif versus negatif. Apa pun yang kamu pilih akan memengaruhi dan kemungkinan besar mencerminkan hasilmu.” – Sonya Teclai
Pertarungan politik dalam suatu pemilu (election) hari ini adalah pertarungan tentang persepsi, dan sumber daya lain dibutuhkan untuk mendukung persepsi bisa terbentuk, terkontrol dan memenuhi alam sadar pemilih (top of minds).
Siapa yang bisa membentuk persepsi secara baik, maka merekalah yang memiliki kesempatan terbesar untuk memenangkan pertarungan politik. Postulat ini berlaku di semua event politik baik Pilpres, Pileg, Pilkada hinggan Pilkades sekalipun.
Penelitian Jones dan Paulhus, 2009, berusaha merunut ke awal upaya membangun persepsi politik, menurut mereka upaya ini telah lama dilakukan para raja dan bangsawan. Bahkan, Noccolo Machiavelli, kepala penasihat politik keluarga Medici di Italia pada abad 16, menyatakan, penguasa dengan kepentingan yang jelas harus terbuka terhadap penggunaan semua taktik yang efektip, termasuk strategi interpersonal yang manipulatif.
Hal ini menunjukkan suatu kelumrahan persepsi politik dibentuk berdasarkan desain. Fenomena ini lazim disebut pencitraan.
Pencitraan politik pada awal abad XX sudah dilaksanakan di Amerika Serikat. Dalam pemilihan yang mendasarkan pada pilihan mayoritas mengharuskan seorang kandidat untuk membentuk opini publik yang diharapkan akan mempengaruhi sikap dan perilaku politik.
Menurut Nimmo (1976) citra adalah segala hal yang berkaitan dengan situasi keseharian seseorang, menyangkut pengetahuan, perasaan dan kecenderungannya terhadap sesuatu, sehingga citra dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu.
Di Indonesia sendiri perkembangan pencitraan politik (political image) berkembang sejak pemilihan langsung tahun 2004. Segala tindakan yang dilakukan para politisi atas dasar kekuasaannya
sadar atau tidak sadar merupakan pencitraan politik. Citra politik yang terbentuk di benak publik, tidak selamanya sesuai dengan realitas yang sebenarnya, karena mungkin hanya sama dengan realitas media atau realitas buatan media yang disebut juga realitas tangan kedua (second hand reality).
Pencitraan politik bisa mempengaruhi opini publik dengan terbentukknya opini publik di masyarakat bisa mempengaruhi sikap dan perilaku politik seseorang. Tindakan masyarakat atas dasar pencitraan
itu bisa rasional sekaligus emosional seperti dua keping mata uang.
Adanya pengaruh pencitraan politik terhadap opini publik dan pilihan pemilih juga bisa dilihat dari penelitian yang berjudul Creating a Political Image: Shaping Appearance and Manipulating The Vote (Rosenberg et al. 1991).
Pilihan masyarakat bisa dibentuk melalui pembuatan citra positif kandidat melalui perbaikan penampilan di media massa.
Seorang kandidat harus berpenampilan menarik atau dibentuk pendukung pemilih yang simpatik pada kandidat.
Membentuk penampilan kandidat berkembang di negara demokrasi yang banyak menggunakan media televisi sebagai media kampanye seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan Yunani.
Pencitraan Politik di Era Digital
Perkembangan teknologi saat ini memberikan dampak yang besar terhadap proses demokrasi politik. Pengalaman Pilpres 2014 dan 2020 menjawab bagaimana peran media sangat berpengaruh dalam menunjang populeritas dan membentuk keterpilihan seoarang calon.
Penggunaan media sosial untuk saat ini menjadi lahan politik yang sangat mudah untuk diakses oleh semua kalangan, mulai dari Pemerintah dalam menyebarluaskan program – program kerjanya, Politisi dan Partai politik dalam menambah elektabilitas dan popularitas, bahkan masyarakat sipil pada umumnya menggunakan media sosial untuk mengakses informasi-informasi yang sedang berkembang saat ini.
Platform media sosial sangat terbuka dan bisa diakses oleh siapa saja dan usia berapa saja. Media sosial telah memberikan ruang baru dalam studi demokrasi, model demokrasi ini disebut sebagai demokrasi digital yang
didefinisikan sebagai pemanfaatan teknologi komunikasi digigtal guna memajukan partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi.
Keterbukaan media sosial memberikan peluang yang sangat besar bagi semua orang untuk mengakses informasi, terlebih di era revolusi industri 4.0 telah merambat ke media internet yang menyediakan semua akses informasi.
Politik digital di era revolusi industri 4.0 sering disebut “marketing & komunikasi politik”. Dimana penggunaan media sosial bukan lagi dimanfaatkan untuk kegiatan marketing barang dan jasa namun sudah mulai digunakan sebagai alat politik oleh paratai politik dan kandidat yang diusung partai politik.
Hal ini membuktikan bahwa berpolitik melalui media sosial mulai menjadi wadah bagi para politisi untuk melakukan marketing politik, komunikasi politik dengan masyarakat pemilih. Oleh karena itu dengan keterbukaan informasi dan akses melalui media haruslah dapat dimanfaatkan dengan baik oleh partai politik dan politisi untuk memberikan informasi mengenai visi, misi dan program kerja bahkan prestasi-prestasi yang pernah dilakukan sehingga masyarakat pemilih dapat menentukan pilihan sesuai dengan harapannya.
Tantanganya, situasi dan kondisi politik di masa kecanggihan dunia teknologi dan digital, setiap politisi dapat menjadi komunikator yang aktif dalam mempengaruhi hingga mendelegitimasi kepercayaan publik akan citra mereka.
Berpolitik di era digital seperti manajemen pemasaran bahwa partai politik dan politisi harus mengetahui perilaku pasar. Manajemen pasar yakni bahwa partai politik harus memahami tuntutan serta perilaku pasar. Sehingga partai politik harus mampu menerapkan customizing politics atau mampu sesuaikan dan adaptasi dengan permintaan pasar.
Memenuhi sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Parpol dan politisi harus tahu tuntutan dan perilaku pasar. Menerapkan customizing politics, melayani apa yang diinginkan konstituen
Era digital membuat masyarakat berpengaruh kuat dalam keputusan partai dan politisi. Publik dapat lebih aktif dalam berkomunikasi dengan partai politik dan politisi. Bahwa publik dapat menjadi komunikator yang berpengaruh dalam keputusan politik adalah sebuah keniscayaan bahkan realitas politik persepsi hari ini. Kini publik dapat secara aktif mendukung namun juga mampu membully bahkan mampu mendelegitimasi suatu partai dan politisinya.
* Penulis Adalah Peneliti LKPR
Discussion about this post